Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com

Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com - Hallo sahabat infomasi berita unik dan pengetahuan, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Konstitusi Indonesia, Artikel Nasional, Artikel Sidney Morning Herald, Artikel UUD, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com
link : Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com

Baca juga


Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com




Berita Metropolitan – Kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus menjadi perdebatan panjang sehingga memunculkan pernyataan pro dan kontra dari berbagai sisi. Bahkan kasus itu juga mencuat dan dijadikan judul sejumlah media Austrlia, seperti Brisbane Times dan Sidney Morning Herald. Namun, terlepas dari kasus tersebut masyarakat pun diminta untuk tetap menghormati asas praduga tak bersalah pada kasus Ahok.




“Siapapun pelaku tindak pidana dalam ketegori penistaan Tuhan tetap harus memperhatikan asas praduga tidak bersalah (presumption of innosen). Konstitusi Indonesia telah menganut sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan,” tegas praktisi hukum Jakarta Dr Suhadrdi Somomoeljono saat diskusi bertema ‘Polemik Penistaan Agama dari Sudut Pandang Hukum‘ yang diinisiasi Lembaga Kajian Hukum Indonesia (LKHI) di Universitas Jayabaya, Jakarta, Rabu (19/10/2016).


Lebih lanjut, Suhardi mengatakan Kepolisian negara RI dalam porsi dan urgensinya selaku penyidik dan juga penyelidik dalam perkara pidana umum tidak boleh ditekan dengan cara apapun dan oleh siapapun biarkan penyidik menjalankan tugas profesionalnya secara independen sehingga hasil yang didapat dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan hukum yang berlaku.


“Dalam suatu negara yang mengaku menghormati demokrasi hukum wajib dihormati, dalam arti orang tidak boleh dihukum hanya dengan persepsi atau dengan tekanan intimidasi dan/atau oleh opini publik. Tidak menutup kemungkinan penggiringan opini publik dapat menghasilkan putusan pengadilan yang sesat,” ujar Suhardi.


Lebih jauh, Suhardi mengingatkan agar opini-opini dan desakan masyarakat yang dipublikasikan itu agar tidak menjadikan penegak hukum merasa terbebani. Dia menerangkan ilmu dan teknologi yang berbasis pada internet menjadi bagian dari alat kelengkapan yang tidak terhindarkan terkait dengan adanya dugaan penistaan terhadap agama, mengingat basis dari perbuatan kejahatan itu dilakukan dengan menggunakan video youtube. Dengan demikian, lanjut Suhardi, elemen-elemen sebagai alat kelengkapan penyidikan setidak-tidaknya diperlukan laboratorium forensik (labfor) terhadap video rekaman, hasil labfor dimintakan pendapat atau keterangan dari ahli atau saksi ahli, ahli agama, ahli bahasa, dan ahli pidana.


“Dari elemen-elemen itu dapat digunakan untuk merumuskan (menentukan) apakah terpenuhi adanya muatan (konten penghinaannya) dalam perspektif pasal 156 (a) KUHP,” tuturnya.


“Apabila hasil pemeriksaan telah keluar, maka bisa dijadikan alat pertimbangan oleh aparat penegak hukum melakukan tindakan. Tapi jika hanya merujuk alat bukti yang ada yaitu keterangan MUI dan masyarakat pulau seribu yang membenarkan video itu tetap saja tidak bisa berdiri sendiri,” kata dia.


Lihat 3 Aspek untuk Nilai Perbuatan Seseorang
Sementara pakar hukum lainnya, Prof Dr. Masyur Efendi SH, MH menyebutkan dalam menilai perbuatan seseorang khususnya pejabat maka harus dilihat dari tiga aspek, pertama adalah politik hukum pidana nasional, berdasarkan pada Pancasila, sila pertama dan UUD 1945 maka sudah termasuk dalam pelanggaran penistaan agama. Berikutnya, kata dia, aspek filsafat hukum yang menggabungkan aspek hukum dalam perwujudannya yaitu apakah seseorang melanggar hukum dan moral maka terdapat dua aspek lagi yaitu siapa pelakunya dan bentuk perbuatannya.


“Kalau pejabat kadang-kadang penistaannya korupsi dan seterusnya merupakan pelanggaran hukum dan pelanggaran moral. Kalau orang kebanyakan mencari misalnya unsur melanggar hukum,” sebut dia.


Aspek ketiga adalah HAM sebagaimana di atur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999, menganut asas partikularistik relatif artinya tidak menganut asas absolut. Asasnya bebas sebebas-bebasnya dalam mengekspresikan pikirannya ibaratnya menista Nabi, Paus Paulus tidak melanggar hukum positif.


“Hal ini merupakan bagian ekspresinya di Indonesia pasti dilarang, bertentangan dengan kaidah hukum dan moral yang berdampak keras,” jelasnya.


Serahkan Sepenuhnya Kasus Ahok ke Bareskrim, Jangan Intervensi Apalagi Menunggangi
Presidium LKHI Kusuma Prawira Direza Iriyawan Malik mengakui DKI Jakarta merupakan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut membuat Jakarta adalah barometer dalam hukum, sosial, budaya,dll. Tren seperti inilah yang menjadi kenapa kemudian ada istilah Pilkada rasa Pilpers, semua elit politik turun gunung untuk Pilkada DKI Jakarta untuk mempersiapkan calon pemimpin 2019. Ternyata banyak tokoh nasional yang ikut “mondar-mandir” membuat Pilkada DKI Jakarta sangat rame.


“Tidak bisa dipungkiri desakan-desakan publik itu ada juga yang menungganginya. Kita serahkan saja kasus ini kepada Bareskrim yang sedang memeriksanya. Apapun hasilnya, kita berharap tidak ada polemik lagi, demi Pilkada DKI nanti tetap damai dan aman,” tandasnya.


Bareskrim Periksa 8 Saksi
Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri terus menyelidiki kasus dugaan penghinaan agama dengan terlapor Ahok. Sejauh ini, sudah ada delapan saksi yang diperiksa.


“Sudah ada delapan orang yang kita periksa,” kata Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2016).


Delapan orang yang diperiksa itu merupakan orang yang ada di tempat kejadian saat Ahok berpidato. Seperti pihak Dinas, lurah dan masyarakat sekitar. Dari delapan saksi itu, lanjut Ari, pihaknya akan menganalisa dan membandingkan keterangan-keterangan saksi untuk memberikan gambaran seperti apa situasinya.


“Situasinya seperti apa, keadaan yang sebenarnya, ceritanya gimana, kita bandingkan hasil video yang kita ambil dari dinas. Kita putar,” ujarnya.


“Sementara (video) masih diperiksa forensik untuk diambil secara teknis. Dibuka nanti dan dipelajari, dan dibuka kembali dengan saksi yang melihat (langsung) apakah ada yang berkesesuaian,” sambungnya.


Setelah itu, kata Ari, penyidik akan memperlihatkan video tersebut kepada ahli tafsir, ahli bahasa Indonesia, ahli hukum pidana. Hal itu untuk melihat ada tidaknya perbuatan pidana dalam ucapan tersebut.


“Minggu ini pasti ada langkah lanjut pemeriksaan saksi lain,” urainya. [bas]








Demikianlah Artikel Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com

Sekianlah artikel Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com dengan alamat link http://gakbosan.blogspot.com/2016/10/intimidasi-opini-publik-tidak-boleh.html

0 Response to "Intimidasi Opini Publik Tidak Boleh Digunakan Hukum Pelaku Penistaan Agama | gakbosan.blogspot.com"

Post a Comment

cari artikel disini